Selasa, 26 November 2013

Modern Tanpa Kebarat-Baratan

Nusa Dua, Bali--Di era globalisasi ini adalah sebuah fenomena di mana dunia barat menjadi contoh dan seluruh penjuru dunia 'belajar menjadi barat'. Namun, ada pemunculan rasa percaya diri penduduk asli dengan budaya nonbarat . 
Kekuatan ini harus diperkuat dan dihargai karena pada tahapan berikutnya ada kemunculan sejarah budaya tradisi lokal yang besar. Bukan mempertahankan aspek masa lalu, tetapi bersandingan dengan masa depan. 
Demikian pokok pikiran yang disampaikan jurnalis CNN Fareed Zakaria, yang menjadi salah satu pembicara utama pada ajang Forum Budaya Dunia atau World Culture Forum di Bali, Senin (25/11/2013).
Fareed mengatakan, kalau ingin mencari etika kerja dan atribut penting untuk ekonomi ada dalam budaya. Namun, kata dia, yang sulit adalah membuat satu hubungan jelas antara satu budaya tertentu dengan kinerja ekonomi yang stabil. "Ketika anda berkata ke diri anda apakah budaya mendorong pertumbuhan ekonomi maka jawabannya lebih rumit dari itu," kata Editor Majalah Time ini. 
Fareed dinominasikan sebanyak lima kali meraih penghargaan dari National Magazine dan beberapa kali dinominasikan mendapatkan penghargaan Emmy. Dia juga sering menjadi komentator dan penulis berbagai isu mengenai hubungan internasional, perdagangan, dan pengembangan budaya. 
Fareed mengemukakan, transformasi yang dilakukan pemerintah Cina pada tahun 1979 banyak mempengaruhi kebijakan di bidang ekonomi dan politik pada saat itu. Hal itu dilakukan tanpa mengubah budaya Cina yang berumur ribuan tahun.  "Dan itu yang ternyata menghasilkan kemajuan ekonomi Cina sampai sekarang," katanya.
Sejumlah faktor dalam budaya bisa memperkuat dan memajukan pembangunan. Menurut Fareed hal penting adalah cinta dan penghargaan terhadap ilmu pengetahuan dan pendidikan. Cina dan India memiliki komitmen dan penghargaan luar biasa terhadap pengetahuan. "Di Cina Bill Gates dianggap seperti penyanyi pop Amerika Britney Sprears," katanya.
Untuk keluar dari jebakan 'kelas menengah', kata Fareed, dibutuhkan upaya mengembangkan ilmu pengetahuan dan selalu belajar dari yang terbaik seperti yang dilakukan oleh Cina. Hal ini merupakan bahan-bahan untuk kontribusi peradaban dunia, sekaligus menjadi pendrong utama kemajuan ekonomi. 
"Budaya bukan pendorong dan penghambat utama, tetapi budaya memperkaya pembangunan ekonomi," kata peraih penghargaan Padma Bhushan dari pemerintah India atas kontribusinya di bidang jurnalisme pada 2010 ini. 
Tantangan utama negara berkembang adalah bagaimana menjadi modern tanpa kebarat-baratan.  Ada pencarian menjadi modern tanpa menjadi dunia barat. "Tidak ada yang mau menjadi salinan yang murah dari dunia barat. Pada saat berkembang nanti, bisa dipastikan kita tidak menjadi salinan buruk negara barat," pungkasnya. 

Sumber: KEMDIKBUD

Minggu, 07 Oktober 2012

UU Guru dan Dosen Dibawa ke MK


JAKARTA-Pasal dalam undang-undang pendidikan yang membuka ruang bagi sarjana non kependidikan menjadi guru, dinilai menimbulkan diskriminasi. Terutama bagi para sarjana berlatarbelakang pendidikan.

Inilah yang menjadi alasan utama, mengapa tujuh mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi berlatar pendidikan berbeda, mengajukan permohonan pengujian Pasal 9 Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005, tentang guru dan dosen. Ketujuh pemohon tersebut masing-masing Aris Winarto, Achmad Hawanto, Heryono, Mulyadi, Angga Damayanto, M Khoirur Rosyid dan Siswanto.

“Kami mengajukan permohonan uji materi, karena hal ini telah menimbulkan diskriminasi pada sarjana yang berlatar belakang kependidikan," ungkap kuasa hukum pemohon, Muhammad Sholeh, dalam sidang perdana yang digelar di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Jumat (5/10).

Dalam pasal 9 UU tersebut menyebutkan, bahwa kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud dalam pasal 8, diperoleh melalui pendidikan sarjana atau program diploma empat. Menurut Sholeh, kliennya melihat bahawa pasal ini mengandung multitafsir. “Karena tidak ada kejelasan harus sarjana pendidikan, sehingga memunculkan tafsir yang membolehkan sarjana non kependidikan menjadi guru.”

Oleh sebab dalam permohonan uji materi ini, pemohon ungkap Sholeh kemudian, meminta agar MK memberi tafsir atas pasal yang dimaksud. Dengan menyatakan, calon guru harus memiliki latar belakang sarjana kependidikan.

 Menanggapi uraian pemohon, anggota Majelis Hakim Konstitusi, Ahmad Fadlil melihat, permohonan para pemohon lebih kepada tindakan ketidakadilan konkrit. “Sepertinya uraian yang disampaikan merupakan tindakan ketidakadilan konkrit, bukan ketidakadilan dalam bentuk normatif. Paparan ketidakadilan normatif malah tidak dijelaskan. Seharusnya, permohonan ini mengangkat permasalahan pada arah normatif saja, bukan pada arah konkrit," ungkapnya.(gir/jpnn)
 
Sumber: JPNN

Kamis, 04 Oktober 2012

Hidupkan Kembali Pelajaran PMP

JAKARTA - Diperlukan upaya yang signifikan melalui pendidikan sejak dini untuk menyelamatkan Pancasila. Untuk itu salah satu cara adalah menghidupkan kembali Pendidikan Moral Pancasila (PMP) di sekolah.

Ketua Dewan Pembina Pemuda Demokrat Indonesia 1947, Edwin Henawan Soekowati mengatakan, pengkhiatan terhadap nilai-nilai Pancasila, hingga saat ini terus berlangsung. Bahkan di era pasca Orde Baru ini, pernghianatan Pancasila, kecenderungannya semakin masif. Hal itu, dibuktikan dengan semakin rusaknya moral bangsa yang tidak memperdulikan lagi arti penting Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

"Untuk mengantisipasi semakin buruknya moralitas bangsa dalam upaya penyelamatan Pancasila, maka diperlukan upaya yang signifikan melalui pendidikan sejak dini. Misalnya, dihidupkannya kembali PMP," bebernya.

Menurut dia, hancurnya nilai-nilai Pancasila saat ini, lebih dikarenakan bobroknya moral para pejabat penyelenggara negara. "Kondisi seperti ini, sudah sangat mengkhawatirkan, sehingga sangat berpengaruh terhadap kondisi negara yang berujung pada ketidakadilan. Yang dirugikan, adalah rakyat jelata, baik secara ekonomi, pendidikan, maupun hukum," ujar Edwin.

Dia mengatakan, pengkhianatan Pancasila itu, tidak saja terhadap Sila Kedua, yakni "Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, dan Sila Kelima "Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia", tetapi sudah mencakup seluruh sila yang ada.

"Sila Pertama, juga sudah dikhianati, dimana seluruh elemen masyarakat, baik di tingkat elit, maupun di tingkat akar rumput, tampak sudah menjadi bagian dari pengkhianatan itu. Seperti soal lunturnya sikap toleransi beragama dengan munculnya konflik antar agama yang belakangan marak terjadi," katanya.

Menurut dia, Pemilu Presiden 2014 mendatang, menjadi momen yang tepat untuk memilih pemimpin yang memiliki ideologi Pancasila. Presiden mendatang, menjadi tolok ukur keberhasilan pemerintahan dengan berlandaskan Pancasila, sebagaimana yang diamanatkan para founding father. (yay)
Sumber: JPNN